Rhenald Kasali adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Fakultas Ekono...
Rhenald Kasali adalah dosen Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu
Manajemen Fakultas
Ekonomi universitas tersebut. Selain bergerak sebagai akademisi, pria
bergelar Ph. D. dari University of Illinois ini juga
produktif menulis. Buku-buku
yang ditulisnya selalu menjadi perhatian kalangan bisnis dan dikoleksi oleh
banyak dan hampir semua bukunya menjadi best seller. (sumber : eikipedia.org)
Salah satu tulisan yang
dimuat di http://www.jawapos.com
Selasa, 05 Juli 2016 berjudul “Kalau Mau Anak Hebat, Orang Tua Harus Berubah” isinya sangat
menarik.
Dalam tulisannya,
Rhenald menceritakan tentang dosen Unair saat menerima seorang siswa SLB yang mencari alamat. Dari Jogja, anak SLB
itu ditugaskan gurunya mencari alamat di Surabaya, untuk penentuan kelulusannya. Dosen tadi merekam momen itu yang
menyebabkan kebahagiaan si siswa. Sewaktu didalami, pak dosen mencatat, anak
itu tak boleh diantar, tak boleh pakai taksi atau becak. Harus cari sendiri
walau boleh bertanya. Ya, seorang diri.
Orang Hebat
Dari cerita di atas ada 3 orang yang hebat, Pertama adalah gurunya yang
punya ide dan berani ambil risiko. Bayangkan, ini siswa SLB dan kalau dia
hilang, habislah karir pak/bu guru itu. Apalagi kalau dia anak pejabat atau
orang berduit. Kata orang Jakarta, ’’bisa mampus’’
Kedua, orang tua yang rela melepas anaknya belajar dari alam. Ya, belajar
itu berarti menghadapi realitas, bertemu dengan aneka kesulitan, mengambil
keputusan, dan berhitung soal hidup, bukan matematika imajiner. Belajar itu
bukan cuma memindahkan isi buku ke kertas, melainkan menguji kebenaran dan
menghadapi aneka ketidakpastian.
Orang tua yang berani melepas anak-anaknya dan tidak mengganggu proses alam
mengajak anak-anaknya bermain adalah orang tua yang hebat. Memercayai kehebatan
anak merupakan awal kehebatan itu sendiri.
Ketiga, tentu saja si anak yang bergairah mengeksplorasi dan ’’membaca’’
alam. Anak-anak yang hebat adalah anak-anak yang berani keluar dari
cangkangnya. Keluar dari rahim, dari selimut rasa nyaman, tidak lagi dibedong,
digendong, atau dituntun. Berjalan di atas kaki dan memakai otaknya sendiri.
Otak
orang tua, bukan otak anak
Realita,
yang sering terjadi adalah sebuah tragedi.
Semakin kaya dan berkuasa, orang tua semakin ’’menguasai’’ anak-anaknya.
Pasangan diatur dan dipilih orang tua, jurusan dan mata kuliah, bahkan siapa
dosennya, lalu juga di mana bekerja. Ini sungguh sebuah kelas menengah yang
sudah kelewatan.
Bahkan,
begitu bekerja, kita menemukan sosok-sosok yang, maaf, ’’agak bodoh’’. Katanya
lulusan universitas terkenal, IPK tinggi, tetapi sama sekali tidak bisa
mengambil keputusan. Dan di antara teman-temannya, mereka dikenal sebagai sosok
yang tidak asyik, sulit ’’linkage’’
atau mingle dengan
yang lain.
Setelah tinggal di mes,
teman-temannya baru tahu. Ternyata, beberapa hari sekali ’’mami’’-nya menelepon
dan nangis-nangis karena merasa kehilangan. Nasihat ’’mami’’ banyak sekali dan
si anak terlihat takut. Disuruh nego soal gaji, dia pun nego, padahal kerja
baru seminggu dan belum menunjukkan prestasi apa-apa. Begitu disuruh mami
pulang, pulanglah dia tanpa izin dari kantor.
Tanpa disadari, mereka
membuat otak anak-anaknya kosong, terbelenggu, tak terlatih. Semua itu adalah
otak orang tua, bukan otak anaknya.
Sebenarnya, anak-anaknya hebat, tetapi telah merusaknya dengan memberikan
pengawalan ’’superekstra’’.
Orangtua harus berubah
Terus terang, mindset orangtua itulah yang seharusnya berubah. Takut
berlebihan bisa membuat anak-anak ’’lumpuh’’ dan bermental penumpang. Anak-anak
itu merasa akan selalu pintar kalau di sekolah juara kelas. Padahal, pintar di
sekolah tidak berarti pintar dalam hidup.
Anak-anak kita,
khususnya mahasiswa (bahkan kelas 2–3 SMA), bisa diajak membaca lingkungan.
Orang tua bisa memberikan advis, bukan mengambil keputusan.
Melatih anak-anak berpikir dan mengambil keputusan sedari muda
amatlah penting. Sepenting membangun pertahanan dan keamanan negara, kita butuh
penerus yang cerdas dalam menghadapi kesulitan dan ketidakpastian. Sebab,
itulah situasi yang dihadapi anak kita kelak pada abad ke-21 ini.
Guru besar UI, pernah menyampaikan ceritanya
bagaimana pada usia SMP dia sudah ditugaskan ayahnya menyusul sendiri ke
Padang. Di sana, ayahnya yang tentara mendapat tugas baru. Dia pun harus
mencari sekolah sendiri dan mendaftar sendiri.
Lalu, ketika setahun tinggal
di sana, ayahnya ditugaskan panglima untuk tugas belajar ke Amerika Serikat.
Tinggallah si anak harus merajut hidup dengan bekal seadanya di kota yang belum
dia kenal. Tetapi, hasilnya, dia menjadi pemikir yang dikenal kaya dengan
empati, bukan tipe manusia berwacana.
Sementara
itu, Bupati Trenggalek Emil Dardak, apa yang dididik orang tua pada
masa kecilnya amat bermanfaat untuk mengantarnya ke tugas hari ini. Ayahnya,
Hermanto Dardak, mantan wakil menteri PU, sering mengajak Emil ke luar negeri
kalau ada undangan seminar. Sesampai di kota itu, Emil ditugaskan jalan-jalan
sendiri mengenal kota.
Emil
sendiri merasa beruntung punya orang tua yang kuat jantung dan beri kesempatan
untuk membangun masa depan yang ia mampu jalani, meski berisiko. Anda tau? bupati muda ini meraih
gelar doktor dari Jepang pada usia 22 tahun.
Perjalanan
hari ini membentuk anak-anak kita pada hari esok. Semoga
orang tua kelas menengah siap berubah.
Janganlah khawatir berlebihan. Berikanlah kepercayaan dan tantangan agar mereka
sukses seperti Anda. Sebab, rumput sekalipun, kalau tak tembus matahari, akan
berubah menjadi tanah yang gundul.
